Ruang Sasta: “Terjadi Lalu Syukuri”

Terjadi lalu Syukuri

Halo, aku Shanza. Aku masih duduk di tahta paling junior di kampus kami. Kendati begitu, aku sangat ingin mencoba belajar beberapa hal dan berusaha tidak takut akan resiko terburuk. Walau itu sangat mungkin terjadi dan pasti nanti nya aku juga merutuki diri sendiri, haha. Tetapi tentu saja tak melupakan keinginanku tadi, dan memecahkan jalan keluar nya dengan menyemangati diri sendiri. Jejak-jejak baru akan dilewati. Bertemu dengan apapun, syukuri, jangan sesali.

“Acaaa kuu! Akhirnyaa selesai jugaa kelasnyaa yaa.” begitulah Zoya menyapaku. Si berisik namun menyenangkan, yang kutemukan saat bertegur sapa di acara ospek beberapa bulan lalu. Manusia bawel yang rutin menanyai tugas ospek kami saat itu dan berlanjut sampai kami ada di satu kelas yang sama.

“Oh iya Zoy, kamu jadinya ikut organisasi/ukm gitu?” tanyaku pada Zoya yang masih sibuk menata peralatan belajarnya. “Hmm? Mmm aku belum ikut apa-apa kali ini, ca. Tapi aku harus bantu bunda urus catering sama jualan snack online, ca. Kalo Aca si sibuk ni ga usah ditanya lah yaa? hahaha” Zoya bercerita dengan nada yang begitu riangnya, sementara kondisi keluarga nya baru ditimpa musibah wafat nya Ayah Zoya.

“Zoya harus janji sama Aca ya. Kalau butuh apa-apa yang bisa Aca bantu, Zoya wajib banget, fardhu ‘ain bilang sama Aca.” Aku mengacungkan jari kelingkingku di depan mata Zoya. “Iyaaaa Acaaaa cantik tapi masih cantikan aakkuuu.” Zoya mengayun-ayunkan jari kelingkingku sambil tersenyum percaya diri.

Keluar dari kelas, Zoya langsung pamit untuk menyusul bunda nya di toko. Aku yang hari ini ada jadwal kumpul organisasi malam secara online, kembali ke kos untuk bersih-bersih dan istirahat sebentar. Tiba-tiba ada chat masuk dari nomor tidak dikenal.

>>>>>>>>>>

From: 085X-XXXX-XXXX

“Haloo salam kenal yaa! Aku Anna dari prodi X, aku izin save nomornya yaa”

Aca

“Haai! Oh iya annaa, boleh”

From: 085X-XXXX-XXXX

“Makaasih Acaaa, oh iya lagi di jogja atau di rumah ni?”

Aca

“Mmm aku lagi di jogja nih, anna. Gimana?”

From: 085X-XXXX-XXXX

“Waah, jadi gini Aca… aku mau ngajak kamu buat ikut seminar besok. Kamu sibuk ga?”

Aca

“Besok? Mmm ga sibuk sii. Seminar apa ann, kalo boleh tau?”

From: 085X-XXXX-XXXX

“Jadi seminarnya nanti kita belajar softkill, bisnis, dan nantinya dapet manfaat juga, ca! gimana? Besok mau ga berangkat bareng aku juga?”

Aca

“Oalaah, gitu yaaa… boleh boleh”

From: 085X-XXXX-XXXX

“Okedeeh, makasih ya ca!”

Aca

“Sama-sama annaa”

>>>>>>>>>>

Begitulah kira-kira perbincangannya. Sebelum aku mengizinkannya menyimpan nomorku, aku melihat kontaknya terlebih dahulu. Ternyata benar, Anna ini satu prodi denganku dan kita mempunyai satu grup yang sama. Aku mempercayai nya.

Mungkin ia punya acara yang diadakannya dengan teman organisasi atau sejenisnya. Atau ia memang ingin menghadiri seminar yang diadakan oleh suatu unit kegiatan kampus, dan sekedar ingin cari ilmu baru. Jadi menurutku, apa salahnya mencoba ikut dengannya. Meramaikan seminar yang sudah disusun sedemikian rupa untuk disimak. Siapa tahu dapat ilmu baru yang bermanfaat, mumpung sedang tidak ada jadwal apa-apa juga.

 

 

__________

Hari selanjutnya telah datang. Anna mengabariku ia  sudah di depan. Aku yang hanya membonceng, ikut saja walau tak tahu dimana tempatnya. Entah aku yang terlalu mudah percaya atau memang bodoh. Bisa-bisa nya aku tidak menanyakan tempatnya. Namun sore itu di tengah perjalanan, Anna bilang kalau ia ingin mengajakku ke salah satu café, sekalian berbuka puasa katanya. Aku yang enggan mencari masalah dan memilih diam, bermonolog dengan diri sendiri dalam hati. Seminar, di café? Sekalian buka puasa? Seminar dalam bayanganku adalah suatu perkumpulan cukup besar yang telah direncanakan, acara yang setidaknya semi resmi, dengan segala pengaturan banner, MC, ini dan itu.

Tapi setelah aku sampai di tempat…

“Ini yang ngadain seminarnya siapa, Ann? Organisasi kamu ya?” tanyaku sembari mencari tempat duduk, dimana Anna telah ditunggu oleh kenalannya. “Oh nggak hehe, ini yang ngadain aku, yang ngisi.. ada kenalan aku, temen aku, hehe.” Ujarnya sambil masih melacak keberadaan kenalannya itu.

Nah, semakin berkecamuklah pikiranku sekarang. Tak ingin namun terjadi, itu perasaan curigaku. Aku tidak ingin berprasangka buruk terlebih dahulu. Aku mengikuti Anna yang akhirnya menemukan tempat duduknya dan memberi salam pada kenalan Anna itu. Anna bertegur santai dengannya. Seolah memang sudah kenal lama. “Halo, Aca ya?” sapa orang itu yang kemudian duduk tepat di hadapanku. Aku mengangguk senyum meringis, mengiyakan. “Kalo sama Anna? Temen sekelas ya? Atau kenal dimana?”

Aku menjawab seadanya. Basa-basi ringan banyak dilontarkannya. Kenalan Anna ini memperkenalkan dirinya dengan nama Pak Andi. Dan bertanya-tanya, mulai dari punya saudara kandung berapa, hingga biaya semester kuliah berapa.

“Nah, jadi gini, Aca. Aku punya perumpamaan nih, semisal Aca sama Anna ini sama-sama punya satu kewajiban, tapi masih memungkinkan untuk tambah satu kesibukan lain, misalnya nanem padi. Nah, Aca memilih buat nanem, tapi Anna milih buat nanem setelah kewajiban yang pertama nya selesai. Kira-kira yang bakal duluan panen siapa?”

“Aca.” Ujarku datar sambil masih berpikir. “Iya kan? Kalo dipikir-pikir nih, ngejalanin kuliah itu nggak seharian penuh kan? Bukannya lebih efektif kalo kita ini sambil jalanin bisnis, cari uang. Apalagi biaya semesteranmu tadi berapa? Nah, dan kamu juga punya dua adik. Lebih enak ga sih, kalau akhirnya kamu bisa bayar kuliah sendiri, bahkan bisa bayarin adik2 kamu sekolah?” dan banyak sekali hal masuk akal yang dilontarkan Pak Andi. Sampai-sampai kata ‘iya juga ya’ berulangkali terbit di otakku.

Hingga pada titik Pak Andi menawarkan dan menjelaskan bisnisnya. “Nah, kalo kamu sendiri nih, mending milih yang paket 300.000, 1.000.000, atau 5.000.000?” bingung beribu bingung, terpaku otakku disitu. Bermonolog lagilah aku. Kenapa aku harus memilih diantara ketiganya? Aku kan belum pasti mau ikut bisnisnya.

“Mending yang 300.000 ga sih? Anna juga awalnya ambil yang 300, soalnya pasti semua orang namanya baru dikenalin sesuatu pasti ragu kan ya, jadi gapapa 300 dulu. Nanti kamu bakal dapet 1 produk kesehatan buat kamu uji coba jualan. Nah setelah itu, kamu bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi, ambil 1.000.000 dan dapet bonus yang lebih besar. Kalo sekarang, kamu ada ga, 300.000 cash gitu? Kalo ada bisa langsung aja.” Ujar Pak Andi santai. Aku menatap Anna tak mengerti.

Dompetku hari ini memang ada menampung uang 300.000, tapi Mama mengamanahi agar digunakan untuk bayar bengkel motorku yang memang sedang agak rusak dan perlu banyak yang diganti. Dan selain uang 300.000 ini, aku benar-benar tidak punya uang lagi. Paling hanya sisa koin dan uang-uang kembalian yang menyelip di kantong. Karena sebelumnya, kupikir biaya bengkel nanti akan ada sisanya dan bisa kuambil sisanya untuk kebutuhan pangan ku sampai bulan depan. Seperti benar-benar di hasut, aku mengeluarkan uang 300.000 dari dompet dan memberikan uangnya.

“Oke, berarti Aca udah bisa masuk bisnis ini nih. Pak Andi mau ambilin produkmu dulu, kamu sekarang nulisin semua kontak yang kamu punya, habis itu yang sekiranya bisa, kamu ajakin aja semua ke seminar kaya yang dilakuin Anna tadi, ya?” dengan senyum tawar, aku mengangguk pelan.

Lagi, seperti terhipnotis aku pun menulis kontak-kontak yang ada di ponselku. Kurang-lebihnya 100 kontak kutulis tangan diatas kertas putih petang itu juga. Adzan maghrib berkumandang. Pak Andi kembali dengan membawa satu produk herbal kesehatan untukku dan mempersilahkanku dan Anna untuk berbuka puasa kemudian sholat. Setelah sholat, aku dan Anna kembali ke tempat duduk sementara Pak Andi pamit sholat.

“Anna, kalo udah nulis kontaknya terus diapain?” tanyaku pada Anna yang terus memeriksa hp nya sedari tadi. “Oh, ini. Kamu nanti ajakin temen-temen yang ada di kontak kamu buat diajakin ke seminar kaya yang aku lakuin ke kamu. Ini nanti aku kirimin format buat ngajakinnya. Kamu ajak semua yang bisa diajak buat kesini. Nanti kalo kamu bisa ngajakin temen kamu buat join disini dan dia bertahan, kamu bisa dapet bonus. Semakin banyak yang kamu ajak, semakin banyak bonus yang bakal kamu dapet.” ucap Anna tanpa beban. Pesan ‘format ngajakin’ yang Anna maksud telah masuk di ponselku. Pesan yang sama persis dengan yang ia kirim kepadaku semalam.

“Gimana? Udah bisa belum? Ada yang mau join ga? Kalo bisa besok udah ada yang join minimal 3 orang, dan di-fix-in malem ini juga biar pasti. Mau lihat dong” ujar Anna.

Sejauh ini kah? Sampai di-check ponselku untuk memastikan ada yang join hari ini juga? Minimal 3? 1 orang yang mau ikut saja justru aku takut. Takut ia kecewa karena nanti diperlakukan seperti ini juga dan tidak terima. Karena Anna hendak melihat ponselku, aku pun memberanikan diri untuk mengirim pesan pada orang-orang yang berpotensi mampu melakukan dan menerima hal ini. Namun ketika nanti sampai rumah, aku sudah berencana untuk memberitahu mereka apa yang terjadi setelah aku mengajaknya ke seminar, agar setidaknya mereka tidak begitu saja terhasut sepertiku.

Otakku sudah mendesak, mulutku pun gatal hendak melemparkan pertanyaan akan kejadian membingungkan ini. Tidak tahu kenapa, seperti ada plester yang merekatkan mulutku untuk tak bicara tentang ini semua. Lama aku mencoba mengajak teman-teman kontakku karena berbagai kesibukan mereka yang tidak bisa membalas saat itu juga. Di sela-sela waktu itu, Anna mengirimiku pesan suara berisi motivasi yang harus kudengar setiap pagi, katanya. Pesan itu dari Pak Andi dan jajarannya yang intinya agar orang-orang sepertiku yang baru masuk bisnis ini selalu percaya dan tidak keluar dari sini.

Setelah melihat obrolanku dengan teman-teman yang aku ajak, Anna pun mengajakku pulang karena malam semakin gelap dan tempat kos-ku cukup jauh dengan kantor ini. Akhirnya aku pulang diantar Anna dengan hati juga otak yang terus bertanya-tanya dan bermonolog tanpa henti.

__________

1 minggu sudah aku bertahan dan bersandiwara. Makan 1x sehari, itu pun dengan sisa mie instant yang kupunya. Bahkan pernah tidak makan seharian. Setiap hari dihubungi Pak Andi untuk mendengarkan motivasi pagi, dan terus mengajak orang-orang baru. Tidak bisa menghadiri kumpul organisasi dan ukm. Mengumpulkan sisa-sisa uang dan koin yang ada untuk membeli bensin, lari dari Zoya yang sering mengajak main karena selain tidak punya uang, aku harus menghadiri kelas-kelas bisnis yang diadakan oleh bisnis Pak Andi itu. Serta bolak-balik setiap hari ke kantor bisnis itu untuk melapor sudah sejauh mana aku mengajak teman-temanku untuk ikut seminar dan menjual satu produk ini sampai malam.

Sering kali aku beralasan bahwa temanku banyak yang sibuk dan tidak ada yang bisa diajak seminar dalam 1 minggu itu. Beberapa yang berhasil ke ‘seminar’ pun aku anjurkan untuk tak melanjutkan bisnis ini dengan berbagai alasan. Uang yang sudah mereka keluarkan, aku anggap sebagai hutang yang akan kubayar kepada mereka berangsur sebisaku. Karena aku masih takut kalau akhirnya temanku nanti merasakan hal yang sama sepertiku. Aku sudah tidak tahan lagi, dan tidak bisa melanjutkan ini. Aku pun menghampiri Zoya dan menceritakan semuanya. Yang mana aku sudah memprediksi kalau-kalau ia akan menempelengku dan meneriakiku kencang-kencang.

“Ya Allah, Shanza Shaquilla Sadeeliiiiiiii bisa-bisa nya kayak gini ga cerita ke aakkuuu?!! Parah banget. Padahal kemaren ada yang suruh aku janji buat ceritain dan minta bantuan setiap ada apa-apa. Ga punya kaca apa di kos, Acaaaa??!” seru Zoya dengan oktaf paling tinggi yang baru aku dengar.

“Hmm menurut aku gini sih, ca. Tentang bisnis itu sebenernya nggak seutuhnya salah. Dia punya produk kesehatan yang bagus, bantu tambah relasi, dan materi-materi yang disampein sama Pak siapa, Pak Andi ya? Nah itu, materinya juga masuk di akal banget dan bikin kita sadar biar kita ga males-malesan waktu kuliah. Dan kalo emang ada orang yang bener-bener mau serius, bisa ngelola, dan berani, aku kira dia juga bisa berhasil sih di bisnis itu, ca. Walaupun entah juga kalau ada keburukan lainnya yang nggak kita tahu. Tapiii kasus muu disini ituu, kamu sekarang jadi sengsara gini dan aku tau kamu orangnya nggak enakan. Jadi pasti berat sekaligus sakit banget buat kamu ngajakin mereka yang bahkan sampe mau ikut kamu. Karena nggak semua orang se-polos, se-legowo dan se-manut kamu. Alhamdulillah besok udah awal bulan, caaa. Kalo nggak, hadeeuu. Dah, sekarang putusin segala hubungan dan kontakmu dengan bisnis itu.”

I got it! Hahaha, makasih banyak Zoyaaaa. Aku legaa baangeeett.”

That’s it! Dengan kejadian ini percaya atau tidak, aku belajar untuk lebih teliti lagi dengan hal yang benar-benar baru. Keinginan ku untuk mencoba memang banyak, tapi ternyata aku harus menyeleksi dahulu. Sudah ku lewati masa merutuki dan menertawakan diri sendiri. Selanjutnya syukuri, introspeksi, dan tidak menyesali.

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 155)

 

 

 

 

Jurnalis: Sofia Bunga Nisrina

Editor: Wildan

About Tim Redaksi Dekombat

Website ini dikelola oleh Tim Redaksi Dekombat IMM FEB UMY

Check Also

Tim YSI PK IMM FEB Membuat Rumah Lalat dan Melakukan Penebaran Pupa

Pada Jumat (18/08/2023), semangat penuh dan komitmen tinggi terus dilakukan oleh Tim Young Sustainable Initiative …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *