Bangsa Indonesia menganggap konflik agraria sebagai sebuah isu yang tidak memiliki urgensi yang dapat berdampak fatal bagi kehidupan manusia secara umum. Konflik ini seakan-akan dianak-tirikan oleh bangsanya sendiri. Mungkin Rancangan Undang Undang KPK, KUHP, dan yang lainnya lebih menarik untuk dibahas oleh seluruh kalangan masyarakat, yang kemudian konflik agraria yang sedang terjadi dan akan terus terjadi ditinggalkan begitu saja. Kesadaran masyarakat menengah ke atas bahkan tidak memperdulikan sama sekali keadaan kaum petani yang kian hari kian tergusur.
Berbagai kebijakan publik hingga peraturan Undang Undang yang jika dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, sebenarnya menguntungkan untuk kaum elit, tidak berpihak kepada masyarakat yang termarginalkan. Hal ini sebenarnya dapat kita usut lebih jauh, dimana para penguasa saling beradu dalam pesta demokrasi. Untuk mencalonkan diri menjadi seorang dewan saja (yang nantinya akan mengurus dan mengatur perundang undangan), perlu biaya yang tak bisa kita hitung jumlahnya dan ini akan berdampak pada psikologis seorang wakil rakyat nantinya. Wakil rakyat bukan lagi bekerja untuk rakyat dan memperjuangkan hak rakyat, tetapi bekerja untuk bagaimana nantinya dia bisa mendapatkan kembali modalnya saat kontestasi pemilihan umum. Akhirnya wakil wakil rakyat (baca:keparat) yang seperti ini akan mengusahakan berbagai macam cara yang licik agar modal yang mereka keluarkan dapat kembali lagi pada kantong celana mereka. Saya rasa banyak sekali kebijakan kebijakan yang tidak lagi diperuntukan untuk kepentingan rakyat, namun sudah menjadi kebutuhan pejabat.
Konflik agraria yang terjadi belakangan ini tidak begitu disorot oleh media (TV), hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia tidak begitu faham dengan konflik yang sedang terjadi. Peralihan sebuah lahan tanah; hutan, kebun, sawah dan juga bumi air, atas dasar “untuk kepentingan dan pemberdayaan masyarakat” sebenarnya sangat banyak. Di antara 472 konflik agraria yang terjadi pada tahun 2014 dengan luasan konflik mencapai 2.860.977,07 hektar, peralihan sebuah lahan untuk proyek infrastruktur merupakan konflik yang tertinggi pada tahun 2014, tercatat ada 215 konflik (45,55%) dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Tentunya proyek – proyek besar seperti ini untuk kepentingan Negara memerlukan perijinan yang cukup ketat. Hal seperti ini yang membuat saya bertanya-tanya dan menjadi skeptis pada perijinan yang diberikan.
`Sebagai organisasi yang melawan penindasan, kebodohan, kemiskinan, kesewanang-wenangan dan ketimpangan, tentunya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) seharusnya sudah mengambil sikap atas konflik agraria yang terjadi pada dewasa ini. Namun sayangnya, IMM juga seakan tidak peduli dengan konflik agraria yang sedang terjadi, seolah-olah IMM juga turut serta untuk terus menindas para kaum yang sudah tertindas.
Permasalahan IMM sepertinya bukan tertitik pada kemana arah geraknya, namun lebih kepada orientasi setiap kadernya sendiri. Lupa akan tujuan dan arah geraknya, serta lupa akan kenapa mereka terlahir di Rahim merahnya, memang pahit untuk didengar, tetapi itu realita nya. Dekadensi setiap generasi yang memandang IMM hanya sebagai organisasi internal pelaksana proker di kampus menjadi salah satu faktor kader IMM sudah tidak lagi berorientasi untuk membela rakyat yang tertindas serta memerangi kebodohan, pun dengan faktor faktor lain seperti kader yang hanya mencari eksistensi belaka mendukung IMM untuk semakin tumpul keberpihakannya kepada rakyat.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah selama ini selalu mengambil sikap untuk ikut turun membantu konflik agraria hanya ketika sebuah isu tersebut sudah berada di ambang, dan setelah rakyat tersadar bahwa mereka sebenarnya sedang ditindas. Pengadvokasian dan sosialisasi kepada warga – warga desa yang memiliki potensi pemaksimalan agraria perlu dilakukan sebelum terjadinya konflik. Menumbuhkan kesadaran para petani dan warga desa sejak awal akan sangat membantu koordinasi antara IMM dengan warga. Dengan ini, IMM akan memiliki rasa bertanggung jawab yang lebih atas warga desa dengan potensi alamnya. Katakan lah jika IMM melakukan sosialisasi dan pengadvokasian tentang isu – isu agraria ke berbagai desa yang tidak memiliki permasalahan dan belum terjadi sebuah konflik. Sosialisasi ini dilakukan secara kontinu dan konsisten. Pada saat sebuah percikan konflik mulai terjadi, seperti rencana pembangunan sebuah pabrik di atas lahan warga, meskipun hanya sekadar sebuah rencana, kita dapat membantu rakyat secara sigap dan tanggap, sehingga bantuan yang kita berikan bukan hanya massa untuk membantu resistensi warga terhadap konflik tersebut, tetapi juga pengadvokasian kepada warga agar rencana tersebut tidak berujung kenyataan. Setelah melakukan sosialisasi yang berkelanjutan, pembentukan serikat tani atau organisasi warga di sekitar desa juga perlu dilakukan, agar nantinya koordinasi serta komunikasi dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah lebih mudah dan terorganisir.
( Mending sok tahu ketimbang bisu )