Komodifikasi Agama: Cara Cerdas Namun Membodohkan

Komodifikasi Agama: Cara cerdas namun membodohkan

Sumber : newhibbyndaskotak.blogspot

Karya : IMMawan Fahmi Riza Afriandi

“Mari kakak dibeli hijab syar’inya biar menjadi wanita shalihah…..”

“Biar semakin sempurna ibadahmu, pilihlah laundry yang syar’i…..”

“Pakailah parfum kami, yang wanginya sudah jelas Halal…..”

“Wedding Organizer kami beda dengan yang lain, sebab kami menggunkan asas – asas syari’ah pernikahan. Jasa kami siap menghantarkanku menuju sakinah, mawadah, warahmah…”

**

Begitulah contoh sempurna kalimat komodifikasi agama. Karena contoh istilah Syar’i itulah semua barang digeneralkan agar lebih terlihat Islami. Istilah ini merupakan dampak dari issue global yang saat ini sedang terjadi, yang mengaitkan antara Islam dan Kapitalisme.

Mari kita coba jabarkan terlebih dahulu pengertian dari komodifikasi. Komodifikasi adalah kegiatan bisnis kapitalistik yang menjual barang. Jika ditambah Agama, maka berarti kegiatan bisnis jualan kapitalistik yang menjadikan label dan simbol agama sebagai strateginya. Untuk melariskan barang dagangan pastinya, ya iyalah mana ada penjual yang mau rugi.

Jangan salah sangka dulu. Jualan, bisnis, ruhnya adalah kegiatan kapitalisme, bukan agama itu sendiri. Dalam sebuah bisnis tidak ada otoritas tuhan didalamnya, karena disana hanya ada strategi untuk menjadikan bisnisnya kian berkembang. Agama hanyalah alat politis untuk menggiring dan mensugesti orang orang akan bumbu – bumbu Islami. Pastinya orang – orang yang tidak bisa membaca realitas sekarang inilah, yang sesungguhnya dijadikan sebagai mangsa utamanya. Semoga kita adalah umat yang senantiasa sadar akan realitas itu.

Masih saya ingat dalam mata kuliah semester lalu yang membahas terkait prinsip dasar jual beli didalam Islam. Terdapat beberapa perkara, diantaranya saling ridha, tulus, jujur dan ikhlas. Bahwa dalam bisnis kapitalistik juga dibumbui dengan prinsip tersebut, namun kita sebagai umat beragama Islam terutama dibedakan secara ajaran dengan kapitalisme tingkat lanjut. Sebagai contoh adalah ajaran sedekah, ada hak – hak orang lain yang harus kita berikan dari keuntungan yang telah didapatkan. Maka, jika dalam bisnis mengingkari prinsip dasar tersebut antara janji spek barang dan faktanya. Otomatis bisnis tersebut tidaklah Islami.

Belakangan ini trend propaganda ‘Syar`i’ disemburkan sedemikian dahsyatnya oleh para pembisnis yang melek benar terhadap sakralitas simbol agama terhadap minat masyarakat. Misalnya Hijab Syar`i. Hijab jelas Islami dalam prinsip menutup aurat. Namun penyertaan stempel ‘Syar`i’ dibelakang hijab itu, yang menunjuk kepada pola dan desain tertentu, dengan tujuan supaya masyarakat membelinya, maka jelas kegiatan itu adalah komodifikasi. Ini merupakan murni kegiatan bisnis yang menggunakan agama sebagai `alat jualannya`.

“Mari Ukhti dibeli hijab Syar’inya murah meriah, agar semakin Shalihah dan menjadi wanita yang dirindui surga…..”

Syar`i mbahmu cuk!

Shalihah mbahmu cuk!

Surga mbahmu cuk!

Sebagai sebuah strategi marketing, komodifikasi ini sangat cerdas tetapi sebagai sebuah pertanggung jawaban moral muslim ini adalah pembodohan umat. Secara esensial memakai jilbab adalah sebagai penutup aurat seorang wanita. Tetapi sangat kurang ajar sekali jika pilihan dan model memakai jilbab itu dikaitkan dengan barometer kesalihan seseorang.

Di kampung saya misalnya, ibu, nenek, budhe, bulik. Mereka kemana – mana memakai jilbab, dengan prinsip yang mereka yakni sebagai penutup aurat. Tanpa perlu dikaikan dengan yang syar’i manapun, mereka dalam posisi yang sama dengan muslimah manapun yang memilih untuk berhijab.

Apakah jika mereka tidak memakai jilbab yang kau jual itu yang kau sebut sya`i itu lantas akan berkurang keshalihan mereka? Atau sebab tidak memakai jasa wedding sya`i, lantas pasangan yang menikah tidak menjadi sakinah mawadah warahma? Tidak ada hubungannya apapun tingkat keshalihan seseorang dengan mode dan merk jibabmu itu. Sempe syar`i disana jelas hanyaah sebuah komodifikasi.

Ini bisnis Bung! Ini kapitalisme Bung! Segala macam stempel Islam itu hanyalah alat Propagada untuk menarik daya beli konsumen. Dan yang ironisnya sagat mudah dibuai oleh simbol – simbol agama. Dan itulah makanan lezat komodifikasi agama.

Barangkai secara individu itu adalah hak masing- masing. Untuk memilih sesuau yang mereka kehendaki. Saya bukan pada posisi menentang apa itu jilbab syar`i, travel syar’i, wedding syar`i, parfum syar’i. Saya dalam posisi ini ingin membedah bahwasanya komodifikasi itu:

Pertama, menunggangi agama untuk kegiatan bisnis demi mendapatkan keuntungan financial.

Kedua, untuk mempengaruhi publik dengan doktrin – doktrin religius yang tentu saja sudah didesain sedemikian rupa untuk mendapatkan kepentingan nomer satu.

Ketiga, publik yang sudah termangsa lantas dalam ranah sosial tentu suatu kondisi yang memilukan untuk menyaksikan anak-anak muda terciutkan mindset-nya tentang Islam yang ala komodifikasi belaka itu. Sempurnalah di kepala mereka bahwa “saya yang benar”, “saya yang shalihah”, “saya yang calon ahli surga”. Padahal,  apa yang mereka klaim itu sejatinya hanyalah bius komodifikasi.

Inilah bentuk kegilaan kapitalisme tingkat lanjut dengan menjadikan agama sebagai alat jualannya, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan diri kita kritis. Jika ada yang pingin menanggapi atau berdiskusi, saya dengan senang hati menerimanya.

About Tim Redaksi Dekombat

Website ini dikelola oleh Tim Redaksi Dekombat IMM FEB UMY

Check Also

Hukum Kultum Sebelum Tarawih

Tarawih adalah sholat sunnah pada Bulan Suci Ramadhan yang dilakukan setelah sholat Isya dilakukan. Tahun …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *