“Kata-kata memiliki kekuatan. Televisi memiliki kekuatan. Pena (tulisan) saya memiliki kekuatan.”
– Shonda Rhimes
Salam sejahtera bagi segenap jajaran hawa orde maju dimanapun kalian berada.
Terlepas dari pandemi yang belum jua usai, semoga tidak luntur denyut juang emansipatoris diantara kita.
Dalam tulisan ini, sehemat mungkin saya semaikan narasi sekapur sirih yang tentunya tidak asing lagi bagi mayoritas hawa dan pembaca sekalian yang berkompeten.
Ekofeminisme, selaras dengan judul yang terukir apik sebagai kop narasi.
Ekofeminisme secara luas disebut sebagai gelombang ketiga feminisme, Ekofeminisme secara etimologis merupakan gabungan dari dua padanan kata yaitu ‘Ekologi’ dan ‘Feminisme’, yang kemudian dalam interpretasinya, menambah variasi dari teori feminis itu sendiri, karena berangkat dari kerangka perspektif lingkungan.
Francoise d’ Eaubonne dalam bukunya La Feminsme au la Mort (1974), mengungkapkan adanya keterkaitan yang erat antara penindasan terhadap perempuan dan penindasan terhadap alam yang radikalis pada kultur patriarki. Dalam system ini, perempuan menempati konstruksi posisi yang sama dengan alam yaitu sebagai objek, bukan subjek.
Dari sinilah, Ekofeminisme kemudian lahir untuk memecahkan masalah kehidupan manusia dengan alam yang berangkat dari pengalaman perempuan yang menjadikannya sebagai salah satu “mata air” studi dalam pengelolaan dan pelestarian alam.
Pada realisasinya, ada banyak sampel dalam beragam aspek yang berpengaruh penting bagi Ekofeminisme itu sendiri. Namun disini, berangkat dari nasab perempuan dan bumi sebagai orbital yang tersubstitusi, fokus bahasan ini menjadi konsep perkembangan seiring diagungkannya produk kecantikan oleh perempuan, yang sadar atau tidak, telah menjadikan perempuan dan bumi di kapitalisasi. Sense of crisis nya merupakan kesadaran dasar dari kerusakan lingkungan, yaitu memahami perempuan sebagai penerima akibatnya. Patriarki sebagai domain of dominant lama telah menyusun strategi kategori untuk menjustifikasi eksploitasi, yaitu langit (bumi), pikiran (tubuh), manusia, binatang, ruh ataupun binatang. Produk inilah yang melahirkan output kapitalisasi perempuan.
Dalam Jurnal Perempuan Filsafat Ekofeminisme : Tubuh, Tanah, Air, Udara, ada sebuah tanggapan bahwa kapitalisme yang dinilai memanjakan perempuan. Sederhananya, hal ini menunjukkan bagaimana sikap kita yang seharusnya pada bumi. Mulai dari selalu menghabiskan air yang kita minum, membawa tas sendiri ketika berbelanja, belajar hidup subsisten dengan makan makanan lokal/hasil kebun sendiri, dan masih banyak lagi.
Dalam kuantitatif kapitalisme era modernitas, hal ini tentu saja tidak lantas menjadikan perempuan dimanja, perempuan sebaliknya malah menjadi objek nestapa. Sebagai sampel, perempuan disugesti bahwa standar kecantikan adalah mengaplikasikan produk kecantikan yang terkontaminasi zat-zat kimia, perempuan dalam pandangan kalian disini persis seperti korban, bukan?
Daripada berpikir dalam satu sudut pandang, mengapa tidak berpikir dalam sudut pandang yang berbhinneka? Kita semua adalah korban. Korban keegoan, keserakahan, dan kelelahan dalam berdinamisasi. Beristirahatlah, alam yang sakit tahu bahwa kita sedang lelah, menanggung bobot keegoan.
Salam sejahtera bagi segenap jajaran hawa orde maju dimanapun kalian berada.
Kembali pada topik kita sekaligus epilog narasi usang ini, sebagaimana tarian Sang Hyang Dedari yang mengesensikan perempuan sebagai dewi bumi, Siklus buana sebagai ekshibisi seni rupa perempuan dan alam yang mewakili eksistensi cemerlang perempuan yang tanpa batas, serta pola adat istiadat nusantara yang unik dalam seserahan perempuan dan ritual yang mengutamakan kepemimpinan perempuan, kita punya nilai. Kita punya martabat, takhta, dan sisi emosional yang melengkapi rasionalitas, yang menjadikan kita berdaya pikat dalam memahami, menyayangi, dan memberdaya, baik dalam sex maupun alam itu sendiri.
“Tidak ada lagi pemimpin perempuan di masa depan. Yang ada hanyalah para pemimpin.”
– Sheryl Sandberg
Author : Immawati Citra Lindiyani