Sepenggal Mozaik –
“Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan diantara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas hak mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.” (Mochtar Lubis, xii)
Negeri Jazirah dikenal dengan kondisi perempuan yang ter-alienisasi dan menyuguhkan berbagai kisah tentang perempuan sebagai the victim budaya patriarki.
Dari sinilah, Nawal El-Saadawi, Neurolist berkebangsaan Mesir, menghadirkan sebuah kisah yang didasarkan oleh realitas homogen akan perempuan serta perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama demi memperoleh Revolusi nilai dan sikap laki-laki Mesir terhadap perempuan yang sepenuhnya belum tercapai.
Melalui tokoh Firdaus, Nawal menguak sebuah alur cerita yang sangat pedas, keras, berani, dan penuh kejutan yang melipur jeritan pedih serta gugatan terhadap ketidakadilan harkat dan martabat perempuan di masa itu.
Neurolist berkebangsaan Mesir ini dengan sukses menyuguhkan tingkat kebobrokan moralitas kehidupan yang dipimpin oleh para maskulinitas di wilayah Afrika bagian Timur Laut tersebut melalui kisah tokoh sentral nya, Firdaus.
Sejak dini, Firdaus mengalami banyak pelecehan demi pelecahan serta ketidakpahaman jiwa kanak-kanaknya tentang mengapa ia dan ibunya harus menahan lapar sementara ayahnya makan dengan porsi yang sangat mencukupi.
Firdaus dengan problemanya yang tidak jauh-jauh dari tubuh, penyiksaan fisik dan ranjang, banyak mencari jati diri dirinya dan hakikat perempuan yang telah tertakdir lewat segala peristiwa dan kilas balik masa lalu. Saat di titik puncak, profesi sebagai pelacur kelas kakap menjadikannya bernilai di mata para lelaki yang dulu menganggapnya remeh. Namun lagi-lagi persepsi tersebut meleset sebab ketidakbebasan profesinya. Germo nya yang lagi-lagi seorang lelaki, memaksanya untuk tinggal dan memintanya untuk berbagi upeti dari profesinya.
Dengan kecakapannya, Nawal El-Saadawi mampu menyelami kedalaman kisah melalui mata Firdaus yang bahkan sejak awal telah menolak grasi. Baginya (Firdaus), kematian adalah kabar kemenangan yang paling etis ia dengar sepanjang hayat. Karena pada saat itu, ia tidak hanya membunuh satu spesies yang selama hayatnya tidak berhenti untuk menyakiti, ia juga telah membunuh lingkaran hitam yang selalu ia jumpai dalam rasa takutnya.
Menuju akhir, Perempuan di Titik Nol merupakan sebuah mahakarya yang akan menorehkan goresan nurani dimana pembaca akan digiring menempuh lika-liku perjalanan seorang perempuan Mesir yang mewakili nilai perempuan sebagai mahkluk inferior di masa itu.
Akhirul kalam, Billahi fii sabilil haq, Fastabiqul khairat.
Author –
Citra Lindiyani
Judul Buku : Perempuan Di Titik Nol
Penulis : Nawal El-Saadawi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : Januari, 2017
Tebal : 176 Halaman