Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam sangat melimpah. Di negara agraris seperti Indonesia, sektor pertanian memiliki peran yang penting terhadap perekonomian dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia juga hidup dari hasil bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia. Hukum dan Undang-undang yang ada di Indonesia seharusnya menjadi dasar untuk mengelola sumber daya tersebut.
Melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 1 tahun 2018 tentang Ekspor dan Impor Beras, pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan impor sebanyak 500.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand. Impor beras tersebut akan masuk pada akhir Januari 2018. Beras yang diimpor nantinya adalah beras premium dan akan dijual ke masyarakat sesuai dengan HET beras medium.
Namun, ada beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam kebijakan pemerintah ini. Ombudsman Republik Indonesia atau ORI menemukan gejala maladministrasi dalam langkah pemerintah melakukan impor beras 500.000 ton dari Vietnam dan Thailand.
Pertama, yaitu mengenai penyampaian informasi stok beras yang tidak akurat kepada publik. Kementerian Pertanian selalu menyatakan bahwa produksi beras surplus dan stok cukup hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil. Hal ini pun menjadi catatan oleh ORI sebagai salah satu maladministrasi pengelolaan data beras.
Kedua, impor beras ini dianggap mengabaikan prinsip kehati-hatian. Keputusan impor beras untuk didistribusikan ke pasar khusus secara langsung dilakukan dalam masa yang kurang tepat. Berdasarkan hasil pantauan ORI di 31 provinsi pada 10-12 Januari 2018 menunjukkan stok di masyarakat memang pas-pasan dan tak merata, namun dalam situasi menjelang panen. Dalam situasi stok pas-pasan dan tak merata, maka seharusnya melakukan pemerataan stok.
Selanjutnya, ORI juga mempertanyakan langkah Kementerian Perdagangan yang menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia atau PPI sebagai pihak importir. Menurut Pasal 3 ayat (2) huruf d Perpres No. 48 tahun 2016 dan diktum ketujuh angka 3 Inpres No. 5 tahun 2015 yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga adalah Perum Bulog. Sedangkan dalam peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 tahun 2018 yang bisa melakukan impor adalah BUMN. ORI menilai aturan tersebut dibuat begitu cepat dan tanpa sosialisasi yang berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan.
Setiap adanya keputusan impor beras di Indonesia selalu menjadi polemik yang berulang. Apabila melihat kondisi di atas, data yang tidak akurat mengenai stok beras nasional seharusnya diperbaiki. Karena data yang tidak akurat berpotensi membuat pemerintah salah dalam mengambil kebijakan sehingga dapat menjadi akar permasalahan.
Impor beras pada akhir Januari menjelang masa panen Februari 2018 akan menimbulkan dampak negatif bagi petani, hal ini dikarenakan beras yang dihasilkan oleh petani lokal akan kalah bersaing dengan beras impor yang murah. Harga gabah di tingkat petani juga akan anjlok, kemudian petani juga mengalami disinsentif untuk meningkatan produktivitas padi. Indonesia pun menjadi ketergantungan terhadap pangan luar negeri.
Kebijakan impor beras ini jelas tidak mensejahterakan petani ditengah gencarnya program pemerintah mengenai swasembada pangan dan juga bertentangan dengan program nawacita pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terutama tentang kedaulatan pangan.
Selain itu, impor yang dilakukan pemerintah saat ini tidak tepat waktu, karena beberapa daerah di Indonesia pada Januari ini sudah mulai ada yang panen. Apalagi panen juga akan terjadi di daerah Jawa dengan prediksi hasil yang surplus.
Sebelum memutuskan untuk melakukan impor beras, pemerintah seharusnya bisa menyiasati permasalahan kenaikan harga beras saat ini, yaitu dengan cara mengambil stok dari daerah surplus beras untuk daerah yang defisit. Permasalah beras yang terus terjadi di Indonesia seharusnya juga dapat diselesaikan jika pemerintah menerapkan manajemen perberasan yang baik. Salah satunya dengan memperbanyak daerah sentra produksi beras mengingat sebagian besar total kebutuhan beras nasional hanya berasal dari 6 provinsi.
Melihat problematika diatas, keputusan Kementrian Perdagangan untuk mengimpor beras sangat mengancam perekonomian petani maupun perekonomian nasional. Kebijakan ini juga sangat disayangkan mengingat masih ada beberapa daerah di Indonesia yang mengalami surplus beras. Kemudian bukankah kebijakan ini justru akan lebih menguntungkan pihak-pihak korporasi daripada petani lokal? Apakah Indonesia sudah sepenuhnya berhak menyandang nama sebagai Negara Agraris?
Karya : IMMawati Mukminati Nana Sumilar