Catatan (seorang) pelajar jakarta
Cerita Masa Silam
Jakarta, Februari 1993
Bel sekolah berdering panjang. Ini bel yang
ditunggu-tunggu oleh kami berempat. Sang trouble makers, empat pelajar paling bandel di sekolah. Sebutan itu kami dapatkan dari guru-guru sekolah. Predikat yang disematkan karena begitu banyaknya pelanggaran dan masalah yang kami buat bersama, dan kami bangga menyandangnya. Di dalam kelas kami hanya bercanda, menggoda teman wanita, atau nyeletuk setiap pertanyaan para guru. Kami senang berulah, hingga membuat guru berkali-kali menghukum kami. Namun, tidak
semua guru kami perlakukan sama. Kami juga takut dan segan kalau ada guru yang killer.
Bila jam pulang sekolah tiba, kami tidak
langsung pulang ke rumah. Kami sering nongkrong di pinggir jalan, halte, lampu merah, atau pusat perbelanjaan. Jika langit malam sudah berbintang dan bulan sudah bersinar terang, baru kami beranjak pulang.
Kami jarang berkelahi, tawuran hanya sesekali. Itu juga kalau musuh sekolah yang menyerang lebih dulu. Daripada terlibat tawuran, kami lebih suka duduk-duduk di pinggir jalan atau menumpang truk
dan berputar-putar di sekitar Jakarta.
Kami berempat sering sekali disetrap. Mulai
dari terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan PR, ketahuan membolos, berkelahi, ataupun ketahuan merokok di luar sekolah. Namun anehnya, semakin dihukum kami semakin bangga. Kami suka menjadi bahan perhatian, diperhatikan oleh teman-teman sekolah. Tentu saja dengan pandangan negatif, dan kami tidak peduli dengan semua kata mereka. Kami sering berjanjian jika hendak membolos. Jadi, kalau salah satu dari kami tidak masuk maka kami bertiga pun ikut tidak masuk. Keesokan harinya kami membuat surat palsu yang kami buat sendiri. Biasanya surat palsu tersebut ketahuan,
lalu kami dipanggil oleh kepala sekolah.
Kalau ditanya kenangan di masa apa yang paling indah, tanpa ragu aku menjawab kenangan di masa SMP-lah yang paling indah. Masa yang penuh kedamaian dan kebahagiaan. Masa di mana semuanya hanyalah kebahagian, dan kami tidak mengenal dendam dan kebencian. Sayangnya, kami berempat tidak bisa kembali lagi ke masa itu. Bila salah satu dari kami layu atau mati, atau pergi ditelan mimpi maka tak indah lagi persahabatan kami, walaupun kenangan tetap kami miliki dan tersimpan di dalam hati. Inikah duka yang tergores kekal di hati? Atau madu untuk bangkit berdiri?
Untuk semua anak basis, perjalanan pulang dan berangkat sekolah yang penuh tawa, sedih, gelisah, juga cemas kini semuanya tinggal kenangan.
Cerita ini terinspirasi dari peristiwa tawuran
pelajar yang pernah terjadi pada tahun 1995-1996 di DKI Jakarta.
Cerita tentang empat sekawan (Setyo, Agus, Candra, dan Lutfi), pelajar yang sedikit bandel namun memiliki rasa saling menjaga, dan pada akhirnya mereka terlibat tawuran yang mengakibatkan Agus meninggal.
Tidak sampai disitu, mereka bertiga berencana balas dendam kepada orang yang telah membunuh agus, rencana sudah disiapkan dan dijalankan dengan baik hingga salah satu orang yang mengeroyok Agus ditusuk didada dan dileher belakang.
Rencana itu berjalan. Namun, kekhawatiran akan ditangkap polisi menjadi kecemasan sampai terbayang mimpi. Chandra selaku pembunuh berbicara kepada kedua temannya, berniat untuk melarikan diri. Dan begitulah walau Chandra bisa melarikan diri Lutfi terkena masalah karena nodong orang dan mengacungkan celurit ke polisi hingga akhirnya Lutfi pun juga ikut kabur mencari ketenangan, sedan Setyo akhirnya mati di medan perang antar pelajar.
Judul buku : catatan (seorang) pelajar Jakarta
Penulis : Arif Rahman
Cetakan : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia
ISBN : 978-602-251-173-1