ISU RASISME: Punah atau Lestari?

Editor: Tim Redaksi Dekombat

DEKOMBAT.COM – Bicara soal rasisme, tidak habis dan tidak akan habis meskipun Nelson Mandela telah menjadi Nasionalis.

Sebelum itu, biar saya boyong sebentar persoalan global ini ke salah satu penjuru ASEAN yang makmur, Indonesia. Dengan enggan saya sebutkan, Indonesia sangat mahir melestarikan mental kolonial di negeri sendiri.

Masih ingatkah kalian kisah bersejarah Operasi Trikora (1961-1962)? Bagi penikmat sejarah, sudah tentu ini bukan barang baru lagi. Dalam kisah ini, timbul istilah “Negara Boneka Papua” yang sejak awal menjadi majas bahwasanya orang Papua tidak memiliki kapasitas memerintah wilayahnya sendiri yang kemudian didukung dengan rekam jejak kaum kolonial Belanda di wilayah bagian timur Nusantara tersebut.

Singkat masalah, dibawah rezim Soekarno, Indonesia yang belum lama merdeka memilih untuk percaya bahwa Belanda bermaksud menyerahkan kemerdekaan kepada orang Papua sambil melanggengkan kontrol atas bekas jajahannya itu. Konsekwensi dari posisi ini: Indonesia harus bergegas menolong Papua – menyelamatkan Indonesia dan Papua sekaligus. Dari sinilah, bayangan Papua harus diselamatkan menjadi alasan yang melandasi hubungan Indonesia dan Papua setelah aneksasi Indonesia-Papua itu sendiri.

Dalam kedok non egalitarian ini, ras gelap adalah musuh. Objek olok-olokan, primitif, separatis, lemah, hingga unsur-unsur negatif yang tentunya menjadi label telah melanggar SARA jika terus dituliskan. Hingga akhirnya, klimaks konflik muncul saat kejadian di Surabaya pada 1 Juli, 17 Agustus, dan 1 Desember menjadi wujud defensif rakyat Papua dan Manokwari selaku pemilik ras gelap demi harkat dan martabat sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berdaulat.

Orang Papua tak perlu diselamatkan. Mereka mampu berdikari. Mereka mampu menjadi bagian dari pesona eksotis Indonesia. Mereka mampu menunjukkan bahwa hidup dengan ras yang berbeda bukanlah sebuah dosa, karena kita semua adalah manusia yang bebas dan egaliter, sebagaimana yang terdapat pada butir sila kelima pancasila.
Usai mengulik salah satu kisah singkat rasisme yang terjadi di bumi bekas jajahan 3,5 abad lamanya Belanda ini, mari berbicara hemat pula tentang dunia.

Satu demi satu kasus rasisme yang menggilas kedamaian ummat menjadi produk yang kontroversial dimanapun kita melangkah. Tak jauh berbeda dengan Papua, kasus George Floyd hingga Rayshard Brooks turut memantik aksi solidaritas masyarakat anti-rasisme dunia. Seperti sebuah kasus pembunuhan berantai, mereka tewas di tangan aparat pemerintah yang tidak bertanggung jawab.

Bukan hanya sekali ini terjadi, bukti penyerangan polisi juga terjadi pada aktivis kulit hitam selama kampanye Birmingham 1963 dan pawai Selma-to-Montgomery 1965 yang merupakan akar rasis polisi Amerika Serikat. Kekerasan mereka menargetkan pria, wanita, dan anak kulit hitam. Imbasnya, ribuan demonstran turut melangsungkan aksi tersebut dengan memadati Kedubes AS di London, memadati Gedung Putih dan mengunci kantor pemerintahan, menghancurkan patung bersimbol rasisme (yang juga terjadi Prancis) dan sekian kronik aksi lainnya yang tak kalah ricuh terjadi.

Dikutip dari laman Suara.com, Kematian George Floyd dan Sejarah Rasisme Amerika:

“Jika Marthin Luther King Jr. masih hidup, mungkinkah ia akan menatap kosong pada kertas pidatonya yang fenomenal ‘I Have Dream’. Akankah keadilan bagi orang kulit hitam selamanya menjadi mimpi?”

Author : Immawati Citra L.

About Tim Redaksi Dekombat

Website ini dikelola oleh Tim Redaksi Dekombat IMM FEB UMY

Check Also

Kenaikan Harga Bahan Baku

Sejak awal Februari 2024, kenaikan harga bahan baku menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Indonesia. …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *