Fiqh Ikhtilaf : Dari Perpecahan Menuju Persatuan

Fiqih ikhtilaf atau yang biasa kita kenal dengan fiqih perbedaan pendapat merupakan salah satu bidang ilmu dalam syariat islam yang mengkaji perbedaan pandangan penafsiran terhadap suatu persoalan hukum yang bersifat ijtihadiyah. Perbedaan pendapat ini sangat mungkin terjadi disebabkan fitrah manusia yang memiliki akal, wawasan serta pemahaman yang bervariasi.

Berbagai landasan dalil-dalil dan pertimbangan syariat yang bersifat mukhtalaf serta melalui ijtihad, istinbath, istishab, ‘urf dan sebagainya maka akan memperkaya wawasan, khazanah, pengetahuan serta mengembangkan dan memperluas pemahaman fiqih. Pemahaman mujtahid dalam bagaimana berijtihad mulai dari tekstual, kontekstual, sampai dengan aliran pertengahan yang menilai secara objektif pendapat yang terbaik  akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang terbuka dan menghargai sesama.

Penulis tidak mempermasalahkan jika terdapat banyak jama’ah dan kelompok yang masing-masing memiliki manhaj tersendiri dalam berjuang dan menegakkan ajaran agama islam dimuka bumi ini, selama perbedaan itu bersifat variatif dan bukan kontradiktif. Tetapi yang menjadi permasalahan hari ini adalah ada orang-orang yang perhatiannya bukan lagi kepada persatuan, tetapi senantiasa menyebarkan benih-benih perselisihan dan perpecahan. Dan tentu hal seperti inilah yang harus kita jauhi bersama.

Maka kemudian ikhtilaf melahirkan dua perspesi, ikhtilaf yang membangun dan ikhtilaf yang memecah belah. Ikhtilaf yang membangun lahir dari pemikiran yang melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Permasalahan ini kemudian ada yang bersifat alamiah, dan ada yang bersifat amaliah. Sebagai contoh dalam penentuan puasa ramadhan apakah dengan rukyah ataukah dengan hisab, atau penggunaan qunut dalam sholat, atau mungkin perbedaan sikap politik dalam bagaimana melihat maslahat dan mudhorot. Dan masih banyak lagi permasalahan ijtihadiyah karena perbedaan penafsiran satu dengan yang lain.

Ikhtilaf yang memecah belah lahir dari faktor akhlaq. Diantara sebab-sebabnya adalah dia yang merasa bangga dengan pendapatnya sendiri, buruk sangka terhadap orang lain, tidak menghargai pendapat orang lain, fanatik buta terhadap pendapatnya dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Kesemua ini adalah perkara yang membangga-banggakan diri dan merendahkan orang lain, yang bisa melahirkan sifat sombong dan ‘tutup telinga’ terhadap perbedaan.

Tetapi kemudian, perlu digarisbawahi bahwa perbedaan ini bersifat fiqhiyah dan bukan perbedaan menyangkut aqidah atau i’tiqodiyah. Hikmah yang kemudian hadir pada perbedaan fiqhiyah adalah keluasan dalam menggali hukum. Disisi lain, memberikan kemudahan dalam menjalankan syariat. Kita tidak terbatasi oleh satu pendapat hukum syar’i. Pada masalah tertentu, ada hukum yang mempersempit karena mengikuti konteks zaman, tetapi di mazhab lain memberika kemudahan dan keluasan, baik yang bersinggungan dengan masalah ibadah ataupun mu’amalah.

Dalam praktiknya, ada yang kemudian menjadi pegangan bagi seorang muslim dalam bergerak pada permasalahan ikhtilaf. Ada dalil yang kemudian dicontohkan oleh Rasulullah. Sholat, terdapat dalil nash yang kemudian dipraktekkan oleh beliau. Tetapi adapula dalil yang dilakukan Rasulullah hanya sementara. Qunut misalnya, yang dipraktekkan oleh beliau hanya beberapa kali. Disisi lain ada juga dalil tetapi tidak dipraktekkan oleh Rasulullah. Zakat yang merujuk pada nash adalah menggunakan dengan kurma dan gandum. Maka kemudian diqiyaskan dengan makanan pokok, dan kita diperbolehkan berzakat dengan beras atau uang.

Dan diantara faktor yang mempererat ukhwuah islamiyah kita adalah dengan memotong jarak. Jarak yang terpotong itu dihasilkan dari menghargai perbedaan. Bentuk nyatanya adalah dengan tidak memastikan sikap dalam masalah ijtihadiyah agar menghargai perbedaan. Para ulama’ menegaskan tidak boleh seorang mujtahid menolak pendapat mujtahid yang lain. Begitupun dengan kita sesama muqollid (pengikut) terhadap muqollid yang lain, apalagi kepada mujtahid.

Saling bertoleransi dalam permasalahan yang masih diperselisihkan adalah sebuah rahmat. Perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah haruslah dihargai. Masalah-masalah umum dan tidak menerima perbedaan adalah dia yang bersifat qoth’i yang pasti dan tegas. Sebagai contoh permasalahan aqidah misalnya yang tidak boleh diganggu gugat. Sejatinya Allah mampu untuk menutup pintu ijtihad. Tetapi kemudian Allah memberikan keluasan dan rukhsoh kepada hamba-Nya dengan tidak menyebut nash Al-Qur’an ataupun As-Sunnah secara menyeluruh dan tegas.

Maka, mari kita bersatu dalam masalah yang telah disepakati dan saling menghargai dalam masalah ijtihadiyah yang masih kita perselihsihkan. Terlalu rugi rasanya, jika energi kita dituangkan dalam masalah perdebatan yang bersifat furu’. Orang-orang yang membenci islam diluar sana akan tertawa jika melihat kita telah berhasil diadu domba. Masih banyak persoalan yang harus kita selesaikan. Kekerasan, pelanggaran HAM, kezholiman, kristenisasi, dekandensi moral, kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi, dan masih banyak permasalahan lain yang kita harus bersatu didalamnya dan membutuhkan kekuatan yang besar.

Muslim satu dengan yang lain seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan. Jika tiangnya keropos, maka hancurlah bangunannya. Perselisihan dalam masalah ijtihadiyah dan furu’iyah bukan penghalang kita untuk terus melebarkan sayap dakwah. Masih ada musuh dan kekuatan besar yang harus kita lawan bersama-sama. Dan untuk melawan itu, kita harus bersatu dalam satu naungan yang sama, dibawah naungan panji islam.

Oleh : Immawan M. Zulfikar Yusuf

About Tim Redaksi Dekombat

Website ini dikelola oleh Tim Redaksi Dekombat IMM FEB UMY

Check Also

Sejarah Muhammadiyah : Muhammadiyah Setelah KH. Ahmad Dahlan Wafat

Pesan terakhir KH. Ahmad Dahlan sebelum wafat: “Nampaknya ajalku akan sampai, aku sudah tidak lagi …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *